“Maka, menulislah, agar jutaan orang pembaca mejadi guru yang meluruskan kebengkokan, mengingatkan keterluputan, dan membetulkan kekeliruan...
“Maka, menulislah, agar jutaan orang pembaca mejadi guru yang
meluruskan kebengkokan, mengingatkan keterluputan, dan membetulkan kekeliruan”
Candra, Wartawan Sumatera Ekspress
Menulis merupakan bagian dari tugas Iman, sebab makhluk pertama
ialah pena, ilmu pertama ialah bahasa da ayat pertama berbunyi “Baca !”
(Salim). Sebagai pimpinan perang, apoleon Bonaparte pernah berkata ia lebih
takut pena daripada senjata. Lalu kenapa tulisan memiliki kekuatan yang begitu
dahsyat ? Jawabannya singkat, karna tulisan MENGABADIKAN. Seperti yang ditulis
oleh Candra “Adagium Latin Verba Volant, Scripta Manent (yang terucap akan
lenyap tak berjejak, yang tertulis kan mengabadi).
Dengan sebuah tulisan, akan membuat opini di masyarakat. Membuat
semua orang terpengaruh dan mengiyakan sebuah tulisan. Dalam teori rekayasa
sosial, tulisan di posisikan di tempat paling atas (nomor satu) dalam cara
merubah pandangan dan cara berfikir seseorang. Masih ingatkah kita bagaimana di
tahun lalu, pesta demokrasi rakyat Indoesia yang harus dicedrai oleh simpang
siurnya berita. Banyak media yang berpihak kepada kelompok atau golongan
tertentu. Walhasil, cara kerja media ketika suksesi Jokowi, yang menjadikannya
sebagai media darling berhasil meracuni masyarakat dan membawa Jokowi ke
tampuk kekuasaan nomor satu di negeri ini. Ini hanya dengan TULISAN. Tulisan
yang berbentuk berita.
Lalu kenapa kita harus menulis ?? Salah satu ulama, yaitu Imam
Syafe”i memberikan pandangan bahwa menulis itu hakikatnya mengikat ilmu “ilmu
merupakan binatang buruan, dan pena lah sebagai tali untuk mengikatnya.
Sekarang mari kita semua mencoba membayangkan, bagaimana Karl Mark kemudian
membesarkan faham komunisme dan dianut berjuta manusia. Bahkan Niccolo
Machiavelli pernah menulis II Principe dan kemudian disebut sebagai inspirasi
para Tiran pada waktu itu, sebut saja Hitler, Stalin, dan lainnya.
Pada dasarnya, dengan goresan pena, kita bisa mengingatkan orang
lain. Pun demikian sebaliknya kita juga akan mendapatkan ilmu, sebab saat pokok
fikiran kita dituangkan dalam tulisan, maka akan ada pembaca yang aka
mengingatkan jika ada hal yang luput dari tulisan kita. Maka, menulislah, agar
jutaan orang pembaca mejadi guru yang meluruskan kebengkokan, mengingatkan
keterluputan, dan membetulkan kekeliruan.
Dalam menulis, mayoritas kita adalah orang yang menggunakan otak
kiri. Kita ragu dan terpengaruh dengan stigma orang yang melihat siapa dan
background yang menulis dan mayoritas pembaca lebih melihat personal seorang
penulisnya. Beberapa orang mempertanyakan bagaimana cara agar tulisan menjadi
amunisi yang tajam walaupun dengan background yang mungkin orang bersikap
tendensius.
Jawaban dari problema di atas adalah perlunya dipahami bahwa setiap
penulis karya tulisannya pasti terpengaruh oleh beberapa hal. Misalnya budaya,
fokus keilmuan, dan lingkungan. Menulis merupaka bagian dari menterjemahkan
ide. Pro dan kontra merupakan hal yang pasti saat orang membaca tulisan kita.
Ada 3 kekuatan yang harus dimiliki seorang penulis agar bisa
menarik pembaca, yaitu:
1. Daya Ketuk
Daya ketuk ini
berurusan dengan hati dan niat. Bayangkan, pernah mungkin kita membaca tulisan
yang bagus namun hambar, tapi ada tulisan yang sederhana namun menggugah. Daya
ketuk adalah soal hati dan hati itu milik Allah. Ingatkah kita Imam Bukhori
yang shalat sunnah 2 rakaat sebelum menulis hadits ? Beliau kemudian melegenda.
2. Daya isi adalah kemampuan penulis, sulit rasanya menulis jika
tidak pernah membaca.
3. Daya memahamkan, tulisan mesti ada sasaran membaca, tulislah
sesuai kemampuan berfikir pembaca.
Coba dilihat buku
Eko Prasetyo: Saatnya Kaum Muda Memimpin, gaya bahasanya anak muda dan buku ini
cukup mengilhami banyak aktivis muda.
Namun, setelah
kita punya feeldi tulisan kita, terkadang kita mengalami keterulangan
dalam menulis ide dan bahasanya, singkatnya tidak terstruktur. Untuk kasus
seperti ini, ini wajar. Semakin sering menulis nanti aka terbiasa, practice
makes you perfect. Kalau kita menulis tentang Humanisme maka sering membaca
dan mencari referensi bacaan Tarbawi. Kalau genre menulisnya ke sosial politik,
bisa dijadika referensi kolom opini di Republika yang banyak memuat tulisan
mahasiswa.
Trus, untuk
mengukur sejauh mana progres tulisan kita, itu hal yang sederhana. Caranya
adalah rajin-rajinlah menulis, jika tulisan kita 3 bulan lalu sudah cukup bisa
membuat kita tersenyum lucu, berarti ada kemajuan, namun sebaliknya jika
tulisan 3 bulan lalu masih kagum juga, berarti perlu lebih giat lagi membaca,
diskusi dan mencoba merangkai menjadi tulisan.
Selanjutnya, dalam
tulisan kita yang berbentuk ilmiah, perlu ditambahi kutipan atau argumentasi
dari tokoh yang bisa memperkuat tulisan kita itu.
Sebagai penutup,
seorang penulis memulai daya memahamkan-nya degan pengakuan jujur; dia bukanlah
yang terpandai diantara manusia. Penulis perlu memahami, banyak diantara
pembaca yag jauh lebih berilmu dan berwawasan dibandigkan dirinya sendiri. Soal
sulit menyampaikan ide, hanya masalah pembiasaan.
Selanjutnya,
menulis membuat kita tetap hidup. Coba kita lihat para penulis yang karyanya
hingga kini masih dipakai, meski ia telah lama tiada amun ideya selalu hidup.
Tapi ingat, tak hanya amal yang Jariyah, dosa pu bisa menjadi Jariyah jika
tulisan kita menginspirasi seseorang untuk berbuat dosa dan terus menerus
diturunkan. Bisa saja niat tulisan kita baik, tapi kita lupa, sang pemilik
hakiki hati dan akal adalah Allah. Kita lupa berdoa, seperti menengahka susu,
tapi kita tidak tahu ternyata susu itu ada kototran yang berpotensi membuat
orang mual atau parahnya membuat orang lain tetap meminumnya meski itu akan
menumbuhkan benih-benih racun dalam dirinya. Wallahu’alam.
(mahir_12)
Note : Tulisan ini sebagai ragkuman dari hasil diskusi SCGD KAMMDA
Palembang 11 Oktober 2015 dengan beberapa tambahan dan pengurangan kalimat oleh
penulis.
COMMENTS