SEJUJURNYA saya tidak terlalu kaget saat membaca pernyataan wartawan senior The Jakarta Post, Endy Bayuni soal hubungan keberimanan dan p...
SEJUJURNYA saya
tidak terlalu kaget saat membaca pernyataan wartawan senior The Jakarta Post,
Endy Bayuni soal hubungan keberimanan dan profesi jurnalis. Pernyataan Endy
tentu layak untuk didiskusikan, terutama dilihat seksama bingkai logika yang
digunakannya. Agar tidak keliru mengutip pernyataannya, saya copy-paste
langsung saja dari situs hidayatullah seperti di bawah ini.
“Jurnalis harus mengabaikan imannya sendiri ketika menulis. Namun sayangnya kesadaran tersebut baru tertanam dalam diri sebagian kecil jurnalis saja, dan belum sampai pada level lembaga atau media”, jelasnya saat peluncuran buku “Jurnalisme Keberagaman: Sebuah Panduan Peliputan”, yang diterbitkan oleh Serikat Jurnalis Keberagaman (Sejuk), di Jakarta, Rabu, (08/05/2013) seperti dikutip UCANews
“Jurnalis harus mengabaikan imannya sendiri ketika menulis. Namun sayangnya kesadaran tersebut baru tertanam dalam diri sebagian kecil jurnalis saja, dan belum sampai pada level lembaga atau media”, jelasnya saat peluncuran buku “Jurnalisme Keberagaman: Sebuah Panduan Peliputan”, yang diterbitkan oleh Serikat Jurnalis Keberagaman (Sejuk), di Jakarta, Rabu, (08/05/2013) seperti dikutip UCANews
Kalimat awal dari pernyataan si wartawan senior itu
jelas bukan keluar dari ahli agama atau dari seseorang yang sehari-hari
berkecimpung dalam aktivitas keagamaan. Maka, layak dipertanyakan apa yang
dimaksudkannya sebagai 'iman' dalam konteks pernyataan tersebut.
Pernyataan itu akan menjadi bias manakala 'iman'
disamakan dengan 'standing point' wartawan dalam melihat fakta lalu
menuliskannya dalam berita. Wartawan memang tidak boleh beropini, ketika
menulis berita. Ia harus menulis fakta dan mengutip pernyataan narasumber.
Masalahnya, narasumber pun sering harus dipilih oleh
wartawan agar berita yang ditulisnya jadi ramai dan jadi konsumsi publik.
Posisi wartawan dalam menuliskan berita belum tentu
mencerminkan keberimanan dia. Bisa saja, wartawan Atheis, tidak beriman pada
Tuhan, menulis berita demi memperoleh perhatian publik.
Contoh lain, wartawan materialis dalam industri pers
tentu selalu ingin menangguk keuntungan dari berita heboh, tanpa perlu
mempertimbangkan imannya. Wartawan berita sensasi jelas haus fakta-fakta
'lheer' demi meraup perhatian khalayak. Mereka ini tidak perlu mempertimbangkan
iman yang berimplikasi pada etika pemberitaan. Dalam kaitan ini, pernyataan
Endy ada benarnya. Abaikan iman saat menulis.
Namun, siapapun yang mengkaji berita berbau propaganda
tentu tahu ada proses pemilihan dan pemilahan narasumber ketika hendak
memperkaya nuansa berita. Nyaris seluruh jajaran redaksional produk Orde Baru
yang kini berlindung di balik jargon 'netral', 'tidak berpihak', 'obyektif' atau
'jurnalisme korban' justru acap memilih serta memilah narasumber demi jargon
itu.
Sudah bukan rahasia lagi, ada proses rasionalisasi
berita dari fakta. Memang, ada wartawan yang mau jujur menyatakan tidak punya
kontak ke narasumber, namun seringkali redaktur atau wartawan senior sudah
punya 'mind-set' tersendiri atas kelompok tertentu. Sehingga tulisan hasil
liputan faktual sang wartawan pun bisa didrop atau dirombak sesuai selera
redaktur. Ini mind-set redaktur, bukan perkara iman.
Menurut saya, seorang jurnalis wajib memegang teguh
keimanannya pada sebuah agama. Berdasar keimanan itu, ia bisa membingkai berita
sesuai fakta. Wartawan beriman teguh akan selalu ingat bahwa tugas-tugas
jurnalistiknya kelak bukan hanya dipertanggungjawabkan ke publik, melainkan
yang lebih penting dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.
Pertanggung-jawaban ini bisa mendorong wartawan untuk
tidak berbohong, jujur dan bersikap fair serta adil dalam memberitakan. Jika
sila pertama Pancasila adalah 'Ketuhanan yang Maha Esa', maka wartawan
Pancasilais adalah wartawan yang mengimani Tuhan yang Maha Esa. Ketuhanan tanpa
keimanan jelas absurd, tak masuk akal, di luar logika.
Dengan kata lain, siapapun yang menepis keberimanan
dari profesi wartawan, sesungguhnya dia sedang mengajak wartawan lain menjadi
anti-Pancasila. Ini sudah subversif, sebab Pancasila adalah dasar negara.
Hal lain yang ingin saya respon adalah soal makna
keberagaman. Rasanya sungguh aneh, bila pada satu sisi ada wartawan atau
kelompok wartawan cenderung provokatif menyuarakan keberagaman, tapi pada sisi
lain agenda aksi mereka justru tak mencerminkan keberagaman.
Antara kata dan perbuatan tidak menyatu.
Antara kata dan perbuatan tidak menyatu.
Bukan rahasia lagi, media mainstream di Indonesia saat
ini cenderung memilih dan memilah narasumber sesuai mind-set redaktur atau
politik keredaksian. Ini fakta. Bila memang mereka konsisten pada keberagaman,
maka seharusnya mereka menghargai prakarsa membela diri dari media
non-mainstream.*

COMMENTS